PENDAHULUAN
Sistem perapajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai
lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari
segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional yang telah
dicapai. Di samping itu, sistem perpajakan yang lama tersebut belum dapat
menggerakan peran dari semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam
menghasilkan penerimaan dalam negeri yang sangat diperlukan guna mewujudkan
kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu,
undang-undang perpajakan baru; yang terdiri atas: UU No.6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
dan UU No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan dan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, yang di dalamnya tertuang ketentuang yang menjunjung tinggi hak warga
negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada
prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam
undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakannya.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi,
teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan
perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta
mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan dan
ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga
dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan,
meningkatkan kererbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan
sukarela wajib pajak.
Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan
undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment.
Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan
kewajiban bagi masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya dengan lebih baik.
Dengan berpegang teguh pada prinsip
kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan
undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada
kebijakan pokok sebagai berikut:
1.
meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
dalam rangka mendukung penerimaan negara;
2.
meningkatkan pelayanan, kepastian hukum
dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang
penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
3.
menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial
ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
4.
meningkatkan keseimbangan antara hak
dan kewajiban;
5.
menyederhanakan prosedur administrasi
perpajakan;
6.
meningkatkan penerapan prinsip self
assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
7.
mendukung iklim usaha ke arah yang
lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksankannya kebijakan pokok tersebut diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring
dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklin usaha.
I. DASAR HUKUM
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
adalah undang-undang No.6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang No.28 tahun 2007.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
akan dijumpai pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku.
Pengertian-pengertian atau istilah-istilah tersebut, antara lain:
1. pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2. wajib pajak
adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. masa pajak
adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu)
bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
5. tahun pajak
adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6. bagian tahun
pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
7. pajak yang
terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak,
dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
8. surat paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
9. kredit pajak untuk
pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah
dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena pajak
penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan
pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
10. kredit pajak
untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan
dari pajak yang terutang.
11. pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakn
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
12. bukti permulaan
adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah
terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
13. pemeriksaan
bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
14. penanggung
pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
15. penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan peghitungannya
Landasan Hukum Pemungutan Pajak
1. Dasar Hukum
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23, Ayat (2): Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
2. Landasan Undang-Undang Perpajakan Nasional
a. Undang-Undang No.6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. Undang-Undang No.7, Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
c. Undang-Undang No.8, Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
d. Undang-Undang No.12, Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
e. Undang-Undang No.13, Tahun 1985 tentang Bea Materai
1. Dasar Hukum
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23, Ayat (2): Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
2. Landasan Undang-Undang Perpajakan Nasional
a. Undang-Undang No.6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. Undang-Undang No.7, Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
c. Undang-Undang No.8, Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
d. Undang-Undang No.12, Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
e. Undang-Undang No.13, Tahun 1985 tentang Bea Materai
DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK
Berikut ini
merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk memungut
pajak, antara lain adalah:
Teori Asuransi
Teori Asuransi
diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi
negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya
pada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka
masyarakat harus membayar ‘premi’ pada negara.
Namun, istilah
premi sebenarnya kurang tepat jika disamaartikan dengan pajak. Sebab, mendapat
balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak.
Teori ini
sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak negara memungut pajak
dari warganya, karena tidak semua kerugian warga, misalnya kebanjiran ataupun
perampokan, negara memberikan ganti rugi.
Teori Kepentingan
Teori
kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda
dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus
dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan
dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan
dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak
membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari
warga negara yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, warga negara yang memiliki
harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi
kepentingan warga negara tersebut.
Namun, pada
kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan sedikit mempunyai kepentingan
yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam perlindungan jaminan
sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia membayar pajak lebih banyak
dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan.
Landasan teori
ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan bukan pajak karena
berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.
Teori Gaya Pikul
Menurut teori
ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu setiap orang yang
dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut
gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya
pengeluaran yang dilakukan.
Yang harus
diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya
pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru dilakukan setelah
kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas
minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak
dilakukan. Dalam konteks UU PPh, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghailan
di bawah PTKP berarti orang tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya
pikulnya adalah nihil. Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena
gaya pikul untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Teori Gaya Beli
Menurut teori ini, maka fungsi
pemungutan pajak dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan
dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk
rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat
dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah
tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat
inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan
kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan
masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa
teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur
(regulerent)
Menurut para
penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa,
baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan juga
dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput dari adanya variasi
dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori yang diuraikan
sebelumnya, yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.
Teori Bakti
(Teori Kewajiban Pajak Mutlak)
Berlawanan
dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul, yang tidak
mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka
teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang
mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari
individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk memungut
pajak.
Teori bakti ini
bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu)
untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara
untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan negara merupakan bakti dari
masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan
kepentingan masyarakatnya.
TATA
CARA PEMERIKSAAN PAJAK
Sejak 1 Februari 2013 berlaku
peraturan baru tentang tata cara pemeriksaan pajak yakni Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Tata cara adalah aturan formal pemeriksaan pajak. Atau bisa
juga disebut prosedur standar. Berikut catatan saya terkait PMK ini.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ada dua:
Pertama,
menguji kepatuhan, yaitu pemeriksaan yang akan berujung pada penetapan pajak terutang. Hasilnya berupa: SKPKB, SKPLB, SKPN, atau STP.
Kedua,
tujuan lain, yaitu pemeriksaan yang berujung rekomemdasi atau pendapat pemeriksa.
Bagaimana Wajib Pajak tahu tujuan
pemeriksaan pajak? Wajib Pajak dapat mengetahui tujuan pemeriksaan dari surat
pemberitahuan yang wajib disampaikan oleh pemeriksa. Di surat pemberitahuan
tertulis tujuan pemeriksaan. Atau bisa juga dari SP2 (surat perintah
pemeriksaan). Setiap pemeriksaan harus memperlihatkan SP2 kepada Wajib Pajak.
Disitu tercantum kode pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga
disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait
dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan kewajiban SPT
tersebut terkait dengan periode tertentu. Ruang lingkup pemeriksaan:
Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).
Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan. Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian tahun pajak adalah bulan April sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung adalah Januari sampai dengan Agustus.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan merupakan
alasan atau dasar dilakukannya. Ada dua kriteria pemeriksaan pajak, yaitu
kriteria rutin dan kriteria khusus. Jenis-jenis kriteria rutin lebih lanjut
diatur dalam surat edaran. Tetapi kriteria pemeriksaan khusus sudah pasti
pemeriksaan yang berdasarkan analisis risiko, baik analisis tersebut secara
komputerisasi (massal) maupun analisis manual (individual). Kriteria
pemeriksaan khusus lebih sering disingkat pemsus.Tetapi jika mengacu ke
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, maka kriteria pemeriksaan
rutin diatur di Pasal 4 yang terdiri:
1.
Pemeriksaan SPT LB dengan permohonan
(mengacu ke Pasal 17B UU KUP);
2.
Pemeriksaan SPT LB tetapi tidak ada
permohonan (mengacu ke Pasal 17 (1) UU KUP)
3.
Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang
telah diberikan pendahuluan kelebih pembayaran pajak
4.
Pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi
(dulu disebut RTLB)
5.
Pemeriksaan karena Wajib Pajak
melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya
6.
Pemeriksaan karena Wajib Pajak
melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap.
Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua:
yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Lapangan adalah
Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak,
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain
yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan
yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai namanya, seharusnya hanya pemeriksaan
kantor yang dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari definisi tadi
pemeriksa pajak "mengartikan" tempat lain sebagai kantor DJP.
Sehingga (praktenya) sebagian besar pemeriksaan lapangan tetap dilakukan di
kantor pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 menentukan (sebagian) pemeriksaan kantor. Pasal 5 ayat (2) mengharuskan bahwa pemeriksaan restitusi (Pasal 17B) dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor dengan syarat:
Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka DJP akan melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini Wajib Pajak memohon restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa untungnya dengan pemeriksaan kantor? Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa pemeriksaan restitusi pajak dilakukan dengan satu jenis pajak saja (yaitu jenis pajak yang memohon restitusi saja) dan "disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan risiko audit tinggi.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 membagi jangka waktu pemeriksaan menjadi dua:
a. jangka waktu pengujian, dan
b. jangka waktu Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan (closing conference) dan pelaporan.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan. Akibatnya ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23 ayat (11) PMK tata cara pemeriksaan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan. Akibatnya ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23 ayat (11) PMK tata cara pemeriksaan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten. Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir
bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir
bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan
Karena kecenderungan pemeriksaan
pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa pemeriksaan kantor itu 6
bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan jangka waktu
pembahasan 2 bulan. Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi 8
bulan untuk pemeriksaan kantor atau 10 bulan untuk pemeriksaan lapangan.
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
1.
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja
Sama Minyak dan Gas Bumi
2.
Wajib Pajak dalam satu grup
3.
Wajib Pajak yang terindikasi
melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang
berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian
pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada
yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan. Pengembalian pajak yang
dimohonkan diatur di Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan
Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17
ayat (1) UU KUP.
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan
jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi
pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
SPT LB dengan permohonan restitusi
diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP
harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013. Jika
pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur
waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan.
Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus
mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013
sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja. Kecuali
jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya
dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka
waktu pembahasan tidak berlaku.
Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12 bulan. Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa penetapan, alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Contoh yang seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya, atau kelebihan PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah hitung).
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan
membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2
tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa
pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu
pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan
dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika
penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir. Kenapa? Karena awalnya LHP
Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 mengatur bahwa LHP Sumir tidak hanya untuk WP tidak ditemukan.
Berikut alasan LHP Sumir yang saya ringkas dari Pasal 21 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013:
·
Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali
pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
·
Pemeriksaan terus di-Buper dan
Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A, Pasal 44B KUP
·
Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa
pajak tidak menemukan novum.
·
Pertimbangan Dirjen Pajak.
Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan
Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan
kantor. Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor,
yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat
Wajib Pajak (aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan
mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai:
a)
Alasan dan tujuan Pemeriksaan;
b)
Hak dan kewajiban Wajib Pajak selama
dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
c)
Hak Wajib Pajak mengajukan
permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance
Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara
Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan; dan
d)
Kewajiban dari Wajib Pajak untuk
memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal
diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.
Peminjaman Dokumen dan Penyegelan
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan
untuk melakukan penyegelan. Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal
30 UU KUP. Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan,
dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan
benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak. Artinya semua benda yang menurut
pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
Penyegelan dilakukan manakala:
1.
Wajib Pajak tidak memberi kesempatan
kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang
yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan,
dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik;
2.
Wajib Pajak menolak memberi bantuan
guna kelancaran Pemeriksaan;
3.
Wajib Pajak tidak berada di tempat Penyegelan
hanya ada dalam pemeriksaan lapangan.
Sehingga
jika pemeriksa pajak datang ke tempat Wajib Pajak dengan membawa Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan
adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita
acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa
pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan
penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa
pajak saat itu juga meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman
dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
Dalam
hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan
dokumen yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa
pajak yakin bahwa dokumen tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat
Permintaan Peminjaman Dokumen. Silakan cek ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf b
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam
hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen sebenarnya tidak boleh
dijadikan standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke tempat
Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka daftar
dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus
persis sama dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat
daftar dokumen secara umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak
tidak wajib memenuhinya.
Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!
Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua
keterangan, yaitu:
1)
Keterangan yang berasal dari Wajib
Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan
2)
Keterangan yang berasal dari pihak
ketiga.
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti
[a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung. Pemeriksa
Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan. Tetapi
untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan
surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.
SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan.
Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa
pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2
satu SPHP satu LHP.
SPHP merupakan materi pemeriksaan
pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 28 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:
Tata
cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
Materi penting tata cara pemeriksaan
menurut Pasal 28 (2) UU KUP terdiri dari:
1.
Pemeriksaan ulang,
2.
Jangka waktu pemeriksaan,
3.
Kewajiban menyampaikan SPHP, dan
4.
Hak WP untuk hadir dalam pembahasan
(closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP:
Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Karena
UU KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference
maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil
masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing
conference). Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai
Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2013.
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU KUP. Padahal sekarang era email (surel).
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU KUP. Padahal sekarang era email (surel).
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference. Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU KUP 2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua minggu kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah memberikan tanggapan SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak. Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya lebih independen. Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim QA memiliki tugas:
1.
Membahas perbedaan pendapat antara
Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan;
2.
Memberikan simpulan dan keputusan
atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
3.
Membuat risalah Tim Quality
Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian SPT Selama Pemeriksaan
Wajib Pajak dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT
yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP. Pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Laporan tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak
dan dilampiri dengan:
ü penghitungan pajak
yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT;
ü SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
ü [SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50%.
Kalau melihat sanksi administrasi
Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka sanksi ini akan lebih tinggi 2%
dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak. Sanksi bunga di surat
ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi beberapa Wajib Pajak
ternyata tidak peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka bersedia bayar lebih
besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah menghindari koreksi
pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo pengungkapannya
benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi fiskal.
Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil, maka citra
manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum pemeriksaan selesai
mereka telah bayar lebih dulu!
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah
pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti
Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP. Dalam hal
pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan,
maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
·
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
·
Surat Pemberitahuan Penangguhan
Pemeriksaan dari pemeriksa.
Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, "nasib" pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan. Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:
a)
Wajib Pajak orang pribadi yang
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
b)
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c)
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau
d)
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat
putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Coba
perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan atau
penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan
Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal.
Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga, penyidikan
dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya
Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak
cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau
penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka
meninggal dunia. Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan
pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja.
Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana
perpajakan. Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti
berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang
sampai dengan 4 kali denda pajak terutang. Ini bukan denda administrasi.
Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi
ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak
akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda
pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.
Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4 bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun bukan pemeriksaan lebih bayar. Bagaimana jika jangka waktu
Pemeriksaan Ulang
Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4 bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun bukan pemeriksaan lebih bayar. Bagaimana jika jangka waktu
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan
ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut ketipan Pasal 15:
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk
melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya.
Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau
pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing
memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda
pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis
dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar.
Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan
bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana
dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak
yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan
semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data
baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh
Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan
untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan
keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan
fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila
pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut
sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data
mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu
pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur. Karena
tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu
ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus jelas dulu novum-nya apa. Jika novum
masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang. Sejak 1
Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti
pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum
atau tidak.
Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
Ada perbedaan mendasar antara
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu
pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa
pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada
saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus
mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan
dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan
lain:
a)
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
b)
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
c)
pengukuhan atau pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
d)
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e)
pengumpulan bahan guna penyusunan
norma penghitungan penghasilan neto;
f)
pencocokan data dan/atau alat
keterangan;
g)
penentuan Wajib Pajak berlokasi di
daerah terpencil;
h)
penentuan satu atau lebih tempat
terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i)
Pemeriksaan dalam rangka penagihan
pajak;
j)
penentuan saat produksi dimulai atau
memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian
fasilitas perpajakan; dan/atau
k)
memenuhi permintaan informasi dari
negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika
jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan
lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan
untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak
ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak
ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya,
pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second
opinion).
KEBERATAN
DAN BANDING
Keberatan
Keberatan
adalah cara yang ditempuh oleh wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas atas
suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan
oleh pihak ketiga.
Dalam
pelaksanaan ketentua peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan
terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/ tidak puas atas suatu ketetapan
pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak
ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.
Ø Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan atas:
1.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB);
2.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT);
3.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB);
4.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5.
Pemotongan atau Pemungutan oleh
pihak ketiga
Ø Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
1.
Diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia.
2.
Wajib menyebutkan jumlah pajak yang
terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut
penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
3.
Satu keberatan harus diajukan untuk
satu jenis pajak dan satu tahun/ masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang
tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
Mulai 1 Januari 2008 dalam hal Wajib
Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui
Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Ø Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam
Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak
tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
1.
Untuk surat keberatan yang
disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan
oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
2.
Untuk surat keberatan yang
disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), jangka waktu 3 bulan
dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti
pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Jika
lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat
formal.Tetapi juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam
keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak.Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
Ø Penyelesaian Keberatan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua betas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat
dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima. Keputusan keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak
terhutang.
Ø Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
1.
Untuk keperluan pengajuan keberatan
WP dapat meminta penjelasan/ keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan
penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan,
atau pemungutan.
2.
WP dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatannya
diterbitkan.
Ø Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan adalah
surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Banding
SK Keberatan tidak dapat menjadi
Wajib Pajak puas. Masih ada satu kesempatan lagi bagi Wajib Pajak untuk menguji
pendapatnya, yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak.
Ø Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas
dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding
kepada Pengadilan Pajak, dengan syarat:
1.
Tertulis dalam bahasa Indonesia,
2.
Dalam jangka waktu 3 bulan sejak
keputusan atas keberatan diterima.
3.
Alasan yang jelas.
4.
Dilampiri salinan Surat Keputusan
atas keberatan.
5.
Terhadap satu keputusan diajukan
satu surat banding,
6.
Jumlah pajak yang terutang dimaksud
telah dibayar sebesar 50%.
Pengajuan permohonan banding tidak
menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan
Pengadilan Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
Ø Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau
permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak
sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Ø Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
dapat mengajukan gugatan kepada PP terhadap :
1.
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2.
Keputusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)
dan Pasal 26 UU KUP;
3.
Keputusan pembetulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
4.
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
Ø Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1.
Gugatan terhadap angka 1 diajukan
paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2.
Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4
diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
Ø Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan
tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa
dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali
Ø Alasan-alasan Peninjauan Kembali
1.
Putusan Pengadilan Pajak didasarkan
pada kebohongan atau tipu muslihat;
2.
Terdapat bukti tertulis baru penting
dan bersifat menentukan;
3.
Dikabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.
Ada suatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.
Putusan nyata-nyata tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ø Jangka Waktu Peninjauan Kembali
1.
Permohonan Peninjauan Kembali dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan
sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis
baru;
2.
Permohonan Peninjauan Kembali dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3
bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.
Ø Putusan Banding
Putusan Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi
jawaban atas alasan banding yang diajukan oleh pemohon banding.Putusan Banding
merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta bukan
Keputusan Tata Usaha Negara Dalam sejarah banding, jika dibuatkan prosentase
Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak.
Apabila pengajuan
keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya maka
kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan.
PERHITUNGAN PAJAKDalam transaksi properti ada tiga jenis pajak yang penting yang perlu diketahui pemilik, pembeli, dan penyewa rumah, yakni: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).Untuk mengetahui cara perhitungan pajak-pajak tersebut, berikut ini pemaparannya:
Perhitungan
Besaran PBB:
Sebuah rumah
dengan bangunan 100 m² berdiri di atas lahan 200 m². Misalnya, berdasarkan NJOP
(nilai jual obyek pajak) harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan
Rp600.000 per m². Berapa besaran PBB yang harus dibayar oleh pemilik rumah
tersebut?
* Harga tanah : 200 m² x Rp. 700.000 = Rp 140.000.000
* Harga tanah : 200 m² x Rp. 700.000 = Rp 140.000.000
* Harga Bangunan:
100 m² x Rp600.000 = Rp
60.000.000
------------------ +
* NJOP sebagai
dasar pengenaan PBB = Rp 200.000.000
* NJOP Tidak
Kena Pajak
= Rp 12.000.000
* NJOP untuk penghitungan
PBB = Rp
188.000.000
* NJKP (Nilai Jual Kena Pajak): 20% x Rp188.000.000
= Rp 37.600.000
* Pajak Bumi dan
Bangunan yang terutang :
0,5% x
Rp37.600.000
=
Rp 188.000
* Faktor Pengurangan
/ Stimulus =
Rp 15.000
------------------- -
PBB YANG HARUS DIBAYARKAN = Rp 73.000
Perhitungan Besaran BPHTB
Seseorang
membeli sebuah rumah di Jakarta dengan luas tanah 200 m² dan luas bangunan 100
m². Berdasarkan NJOP, harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan Rp600.000
per m². Berapa besaran BPHTB yang harus dikeluarkan oleh pembeli rumah
tersebut?
* Harga Tanah: 200 m² x Rp700.000 = Rp 140.000.000
* Harga Bangunan:
100 m² x Rp600.000 = Rp
60.000.000
-------------------- +
* Jumlah Harga
Pembelian Rumah: =
Rp 200.000.000
* Nilai Tidak
Kena Pajak *)
= Rp
60.000.000
-------------------- -
* Nilai untuk
penghitungan BPHTB =
Rp 140.000.000
* BPHTB yang harus dibayar
5% : 5% x Rp140.000.000 = Rp 7.000.000
*) untuk wilayah Jakarta Rp60.000.000, Bogor Rp40.000.000, Tangerang Rp30.000.000 dan
sebagainya.
Besaran ini dapat berubah sesuai peraturan pemerintah setempat.
Perhitungan Besaran PPh
Seseorang
menjual sebuah rumah di Jakarta dengan tanah 200 m² dan luas bangunan 100 m².
Berdasarkan NJOP harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan Rp600.000 per
m². Berapa besaran PPh yang harus dikeluarkan oleh penjual rumah tersebut?
Jawab:
* Harga Tanah: 200 m² x Rp700.000 = Rp 140.000.000
* Harga Tanah: 200 m² x Rp700.000 = Rp 140.000.000
* Harga
Bangunan: 100 m² x Rp600.000
= Rp
60.000.000
-------------------- +
* Jumlah Harga
Penjualan Rumah
= Rp 200.000.000
* PPh yang harus dibayar 5%: 5% x
Rp200.000.000 = Rp 10.000.000
0 komentar:
Post a Comment