All-Published

Saturday, June 22, 2013

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


PENDAHULUAN
Sistem perapajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu, sistem perpajakan yang lama tersebut belum dapat menggerakan peran dari semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam menghasilkan penerimaan dalam negeri yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, undang-undang perpajakan baru; yang terdiri atas: UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan UU No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuang yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan dan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan kererbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
1.      meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;
2.      meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
3.      menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
4.      meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5.      menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6.      meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
7.      mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksankannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklin usaha.

I. DASAR HUKUM
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah undang-undang No.6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.28 tahun 2007.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dijumpai pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku. Pengertian-pengertian atau istilah-istilah tersebut, antara lain:
1.      pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.      wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3.      badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.      masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
5.      tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6.      bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
7.      pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8.      surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
9.      kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
10.  kredit pajak untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
11.  pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakn dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12.  bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
13.  pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
14.  penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
15.  penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan peghitungannya
Landasan Hukum Pemungutan Pajak
1. Dasar Hukum
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23, Ayat (2): Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.

2. Landasan Undang-Undang Perpajakan Nasional
a. Undang-Undang No.6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. Undang-Undang No.7, Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
c. Undang-Undang No.8, Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
d. Undang-Undang No.12, Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
e. Undang-Undang No.13, Tahun 1985 tentang Bea Materai
DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK
Berikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk memungut pajak, antara lain adalah:
Teori Asuransi
Teori Asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya pada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus membayar ‘premi’ pada negara.
Namun, istilah premi sebenarnya kurang tepat jika disamaartikan dengan pajak. Sebab, mendapat balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak.
Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga, misalnya kebanjiran ataupun perampokan, negara memberikan ganti rugi.
Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut.
Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan.
Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.

Teori Gaya Pikul
Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan.
Yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghailan di bawah PTKP berarti orang tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya adalah nihil. Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Teori Gaya Beli
Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerent)
Menurut para penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan juga dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput dari adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan  teori-teori yang diuraikan sebelumnya, yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.
Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)
Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.
Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.
TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK
Sejak 1 Februari 2013 berlaku peraturan baru tentang tata cara pemeriksaan pajak yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Tata cara adalah aturan formal pemeriksaan pajak. Atau bisa juga disebut prosedur standar. Berikut catatan saya terkait PMK ini.

Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ada dua:

Pertama,
menguji kepatuhan, yaitu pemeriksaan yang akan berujung pada penetapan pajak terutang. Hasilnya berupa: SKPKB, SKPLB, SKPN, atau STP.

Kedua,
tujuan lain, yaitu pemeriksaan yang berujung rekomemdasi atau pendapat pemeriksa.
Bagaimana Wajib Pajak tahu tujuan pemeriksaan pajak? Wajib Pajak dapat mengetahui tujuan pemeriksaan dari surat pemberitahuan yang wajib disampaikan oleh pemeriksa. Di surat pemberitahuan tertulis tujuan pemeriksaan. Atau bisa juga dari SP2 (surat perintah pemeriksaan). Setiap pemeriksaan harus memperlihatkan SP2 kepada Wajib Pajak. Disitu tercantum kode pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan kewajiban SPT tersebut  terkait dengan periode tertentu. Ruang lingkup pemeriksaan:
Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).

Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan. Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian tahun pajak adalah bulan April sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung adalah Januari sampai dengan Agustus.

Kriteria Pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan merupakan alasan atau dasar dilakukannya. Ada dua kriteria pemeriksaan pajak, yaitu kriteria rutin dan kriteria khusus. Jenis-jenis kriteria rutin lebih lanjut diatur dalam surat edaran. Tetapi kriteria pemeriksaan khusus sudah pasti pemeriksaan yang berdasarkan analisis risiko, baik analisis tersebut secara komputerisasi (massal) maupun analisis manual (individual). Kriteria pemeriksaan khusus lebih sering disingkat pemsus.Tetapi jika mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, maka kriteria pemeriksaan rutin diatur di Pasal 4 yang terdiri:
1.      Pemeriksaan SPT LB dengan permohonan (mengacu ke Pasal 17B UU KUP);
2.      Pemeriksaan SPT LB tetapi tidak ada permohonan (mengacu ke Pasal 17 (1) UU KUP)
3.      Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang telah diberikan pendahuluan kelebih pembayaran pajak
4.      Pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi (dulu disebut RTLB)
5.      Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,  pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
6.      Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap.

Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua: yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai namanya, seharusnya hanya pemeriksaan kantor yang dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari definisi tadi pemeriksa pajak "mengartikan" tempat lain sebagai kantor DJP. Sehingga (praktenya) sebagian besar pemeriksaan lapangan tetap dilakukan di kantor pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 menentukan (sebagian) pemeriksaan kantor. Pasal 5 ayat (2) mengharuskan bahwa pemeriksaan restitusi (Pasal 17B) dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor dengan syarat:

Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan

Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka DJP akan melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini Wajib Pajak memohon restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa untungnya dengan pemeriksaan kantor? Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa pemeriksaan restitusi pajak dilakukan dengan satu jenis pajak saja (yaitu jenis pajak yang memohon restitusi saja) dan "disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan risiko audit tinggi.

Jangka Waktu Pemeriksaan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 membagi jangka waktu pemeriksaan menjadi dua:
a. jangka waktu pengujian, dan
b. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) dan pelaporan.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan. Akibatnya ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23 ayat (11) PMK tata cara pemeriksaan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.

Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten. Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan
Karena kecenderungan pemeriksaan pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa pemeriksaan kantor itu 6 bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi 8 bulan untuk pemeriksaan kantor atau 10 bulan untuk pemeriksaan lapangan.

Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
1.      Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
2.      Wajib Pajak dalam satu grup
3.      Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.

Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan. Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013. Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan. Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja. Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.

Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12 bulan. Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa penetapan, alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Contoh yang seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya, atau kelebihan PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah hitung).

Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir. Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa LHP Sumir tidak hanya untuk WP tidak ditemukan. Berikut alasan LHP Sumir yang saya ringkas dari Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013:
·         Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
·         Pemeriksaan terus di-Buper dan Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A, Pasal 44B KUP
·         Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa pajak tidak menemukan novum.
·         Pertimbangan Dirjen Pajak.

Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor. Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan penjelasan mengenai:
a)      Alasan dan tujuan Pemeriksaan;
b)      Hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
c)      Hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
d)     Kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak.

Peminjaman Dokumen dan Penyegelan
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan.  Kewenangan penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 UU KUP. Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.

Penyegelan dilakukan manakala:
1.      Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
2.      Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
3.      Wajib Pajak tidak berada di tempat Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan.
            Sehingga jika pemeriksa pajak datang ke tempat Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan dokumen yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin bahwa dokumen tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan Peminjaman Dokumen. Silakan cek ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen sebenarnya tidak boleh dijadikan standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke tempat Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka daftar dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus persis sama dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar dokumen secara umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.

Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!

Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
1)      Keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau anggota keluarga; dan
2)      Keterangan yang berasal dari pihak ketiga.

Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan. Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.

SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka waktu pembahasan. Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP.

SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 28 (2) UU KUP terdiri dari:
1.      Pemeriksaan ulang,
2.      Jangka waktu pemeriksaan,
3.      Kewajiban menyampaikan SPHP, dan
4.      Hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)



Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1.      penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2.      pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Karena UU KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference). Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2013.

SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU KUP. Padahal sekarang era email (surel).

Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing conference. Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.

Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU KUP 2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!

Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua minggu kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah memberikan tanggapan SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.

Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak. Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan  lebih banyak kepada Tim QA supaya lebih independen. Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
 
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim QA memiliki tugas:
1.      Membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
2.      Memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
3.      Membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.

Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan  berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.

Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian SPT Selama Pemeriksaan
Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Laporan tersendiri secara tertulis  harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
ü   penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format SPT;
ü  SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
ü  [SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%.

Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka sanksi ini akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak. Sanksi bunga di surat ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi beberapa Wajib Pajak ternyata tidak peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo pengungkapannya benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil, maka citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum pemeriksaan selesai mereka telah bayar lebih dulu!
  
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP. Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
·         Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
·         Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.

Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, "nasib" pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan. Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:
a)      Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
b)      Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan  adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
c)      Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau
d)     Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal. Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja. Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan. Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang. Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.

Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4 bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun bukan pemeriksaan lebih bayar. Bagaimana jika jangka waktu

Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut ketipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a.    tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b.   pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.


Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus jelas dulu novum-nya apa. Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.
Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:
a)      pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
b)      penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
c)      pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
d)     Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e)      pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
f)       pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g)      penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h)      penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i)        Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j)        penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
k)      memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).

KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan
Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
Dalam pelaksanaan ketentua peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/ tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.

Ø  Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
1.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3.      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4.      Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5.      Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga

Ø  Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
1.      Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2.      Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
3.      Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun/ masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
Mulai 1 Januari 2008 dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui
Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.

Ø  Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
1.      Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
2.      Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal.Tetapi juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak.Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Ø  Penyelesaian Keberatan

      Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua betas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terhutang.

Ø  Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
1.      Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.
2.      WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatannya diterbitkan.
Ø  Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Banding
SK Keberatan tidak dapat menjadi Wajib Pajak puas. Masih ada satu kesempatan lagi bagi Wajib Pajak untuk menguji pendapatnya, yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak.

Ø  Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak, dengan syarat:
1.      Tertulis dalam bahasa Indonesia,
2.      Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
3.      Alasan yang jelas.
4.      Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
5.      Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding,
6.      Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan Pengadilan Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Ø  Imbalan Bunga

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

Ø  Gugatan

Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada PP terhadap :
1.      Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2.      Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3.      Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
4.      Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;

Ø  Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1.      Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2.      Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
Ø  Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali

Ø  Alasan-alasan Peninjauan Kembali
1.      Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
2.      Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
3.      Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.      Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.      Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ø  Jangka Waktu Peninjauan Kembali
1.      Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
2.      Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.
Ø  Putusan Banding

         Putusan Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan banding yang diajukan oleh pemohon banding.Putusan Banding merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta bukan Keputusan Tata Usaha Negara Dalam sejarah banding, jika dibuatkan prosentase Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak.
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan.
PERHITUNGAN PAJAK
Dalam transaksi properti ada tiga jenis pajak yang penting yang perlu diketahui pemilik, pembeli, dan penyewa rumah, yakni: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).Untuk mengetahui cara perhitungan pajak-pajak tersebut, berikut ini pemaparannya:
Perhitungan Besaran PBB:
Sebuah rumah dengan bangunan 100 m² berdiri di atas lahan 200 m². Misalnya, berdasarkan NJOP (nilai jual obyek pajak) harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan Rp600.000 per m². Berapa besaran PBB yang harus dibayar oleh pemilik rumah tersebut?

* Harga tanah : 200 m² x Rp. 700.000       =    Rp    140.000.000
* Harga Bangunan: 100 m² x Rp600.000   =    Rp      60.000.000
                                                                                 ------------------ +
* NJOP sebagai dasar pengenaan PBB      =     Rp   200.000.000
* NJOP Tidak Kena Pajak                         =     Rp      12.000.000
* NJOP untuk penghitungan PBB            =    Rp    188.000.000

* NJKP (Nilai Jual Kena Pajak): 20% x Rp188.000.000

                                                                  =    Rp      37.600.000
* Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang :
0,5% x Rp37.600.000                               =    Rp          188.000
* Faktor Pengurangan / Stimulus             =    Rp            15.000
                                                                                -------------------  -

PBB YANG HARUS DIBAYARKAN =    Rp            73.000

    
    
Perhitungan Besaran BPHTB
Seseorang membeli sebuah rumah di Jakarta dengan luas tanah 200 m² dan luas bangunan 100 m². Berdasarkan NJOP, harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan Rp600.000 per m². Berapa besaran BPHTB yang harus dikeluarkan oleh pembeli rumah tersebut?

* Harga Tanah: 200 m² x Rp700.000          =    Rp    140.000.000
* Harga Bangunan: 100 m² x Rp600.000    =    Rp      60.000.000

                                                                              -------------------- +
* Jumlah Harga Pembelian Rumah:             =    Rp    200.000.000
* Nilai Tidak Kena Pajak *)                         =    Rp      60.000.000

                                                                               -------------------- -
* Nilai untuk penghitungan BPHTB            =     Rp    140.000.000

* BPHTB yang harus dibayar

     5% : 5% x Rp140.000.000                     =    Rp       7.000.000

*) untuk wilayah Jakarta Rp60.000.000, Bogor Rp40.000.000, Tangerang Rp30.000.000 dan
sebagainya. Besaran ini dapat berubah sesuai peraturan pemerintah setempat.

    
Perhitungan Besaran PPh
Seseorang menjual sebuah rumah di Jakarta dengan tanah 200 m² dan luas bangunan 100 m². Berdasarkan NJOP harga tanah Rp700.000 per m² dan nilai bangunan Rp600.000 per m². Berapa besaran PPh yang harus dikeluarkan oleh penjual rumah tersebut?
Jawab:
* Harga Tanah: 200 m² x Rp700.000                         =    Rp    140.000.000
* Harga Bangunan: 100 m² x Rp600.000                   =    Rp      60.000.000

                                                                                            -------------------- +
* Jumlah Harga Penjualan Rumah                              =    Rp    200.000.000
* PPh yang harus dibayar 5%: 5% x Rp200.000.000 =    Rp      10.000.000

0 komentar:

Post a Comment