All-Published

Saturday, April 14, 2012

BERTAKWA DENGAN SIFAT MALU ( Ceramah Singkat )


Tag : bertakwa dengan sifat maluceramah singkat, bertaqwa, malu-malu

Bertakwa Dengan Sifat Malu
     Rasa malu menjauhkan seseorang dari perbuatan salah. Sebagai seorang yang beriman, kita seharusnya memiliki rasa malu, sehingga akan tumbuh malu yang sebenar-benarnya di hadapan Allah SWT tetkala melakukan apa yang dilarang dan dibenci-Nya, atau ketika meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Simaklah dialog Rasulullah SAW dengan para sahabat dalam sebuah majelis. Beliau berkata : “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.”
para sahabat menjawab, “ Wahai Nabi Allah. Kami memang malu kepada Allah den memuji-nya.” Nabi bersabda, “ Bukan begitu yang kumaksudkan. Tetapi, apa yang melu kepada Allah dengan sebenar-benarnya mestilah menjaga kepala dan pikiran yang terkandung di dalamnya. Hendaklah juga menjaga perut dan apa yang dikumpulkan di dalamnya, dan hendaknya dia mengingat maut dan bencana yang akan menimpanya. Siapa yang meninginkan akhirat, Maka dia mesti sanggup meninggalkan kemilauan hiasan dunia. Hanya orang-orang seperti itulah yang benar-benar malu kepada Allah.” (HR Tirmidzi ).

Rasulullah SAW selalu mengajarkan kepada kepada para sahabatnya tentang hakikat malu. Karena, malu merupakan salah satu sifat mulia dan terpuji. Bahkan, ia merupakan pangkal keimanan sabdanya, “Tidak ada Iman bagi orang yang tidak punya malu.” Suatu hari, demikian dikisahkan, seorang laki-laki mendatangi Imam Hambali (780-855). Ia lelaki yang banyak bergemilang maksiat. Tiba-tiba ia datang ke majelis pengajian Imam Hambali untuk menceritakan mimpinya.
     Dalam mimpi itu, kata lelakiitu, ia merasa tengah berada dalam kerumunan manusia yang ada dihadapan Rasulullah SAW. Rasul tampak berada di tempat yang agak tinggi. Satu per satu, orang-orang mendatangi Rasul dan berkata, “Doakan saya ya Rasulullah.” Rasulpun mendoakan orang-orang itu. “ akhirnya tinggal aku sendiri,” kata lelaki yang menceritakan mimpinya itu. “akupun sangat ingin mendatangi beliau, tapi aku malu atas berbagai maksiat yang telah aku lakukan. Rasul lalu berkata, “Mengapa kau tidak datang kepadaku dan minta kudoakan?”
      “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Aku terlarang oleh rasa malu akibat perbuatan-perbuatan burukku di masa lalu.” “Kalau engkau merasa terhalang oleh rasa malu, berdirilah dan mintalah agar aku mendoakanmu. Bukankah engkau tak pernah menghina para sahabatku,” jawab Rasul dalam mimpi tersebut.
Itu hanya sebuah kisah dari pergulatan panjang umat manusia meninggalkan kemaksiatan untuk untuk hijrah ke bumi kebaikan. Perjumpaan serta dialog dalam Rasulpun hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan. Mimpi bukanlah dasar yang kukuh untuk dijadikan pegangan walau para pecinta sejati Rasulullah meyakini bahwa mimpi bertemu Rasulullah adalah sama dengan pertemuan sebenarnya, dan mimpi seperti itu hanya mungkin dialami oleh mereke yang mendapat syafaat.
     Tapi Imam Hambali menghargai keterangan lelaki pendosa tersebut. Laki-laki itu punya rasa malu atas perbuatan-perbuatan buruknya. Rasa malu itu yang mencegahanya terporosok semakin dalam kejurang kemaksiatan, dan malah mengangkatnya ke dataran kebaikan. Mimpi itulah adalah jalan yang mengantarkannya menuju pertobatan dengan menemui Imam Hambali. Maka, Imam Hambali pun berkata kepada lelaki itu untuk menyebarkan kisah tersebut agar member kemanfaatan pada orang-orang lain.
     Di dalam perjalanan manusia sebagai hamba untuk mendekat kepada sang kekasih, Allah azza Wajalla, rasa malu merupakan tangga yang pertama. Masih sangat jauh dari perwujudan rasa cinta yang semestinya. Tapi, apa yang membuat kita dapat mencapai tangga ke-99 bila tangga pertama pun kita tak sanggup menapakinya? Bukankah kita tak melupakan petunjuk Rasulullah bahwa “Malu adalah sebagian dari iman.”
Rasul sekalipun menggenggam rasa malu di hadapan Allah Sang Maha Penyayang. Setidaknya itu tercetus dalam kisah Mi’raj, saat Muhammad SAW menerima perintah secara langsung agar umatnya menegakkan sholat. Konon, mula-mula Allah memerintahkan sholat 50 kali  dalam sehari. Rasulullah sempat menyanggupi, namu Rasul lain yang ditemui dalam perjalan gaib tersebut mengingatkannya bahwa tugas itu terlalu berat bagi umat Nabi Muhammad.
      Rasulpun meminta keringanan sehingga tugas diturunkan lima kali. Masih terlalu berat, Rasul meminta keringanan lagi. Demikian terus menerus hingga kewajiban sholat hanya lima kali sehari. Saat itu,  Muhammad SAW diingatkan bahwa lima kali sehari masih terlampau berat. Namun, Rasul telah malu hati untuk kembali mengajuukan keringanan pada Allah SWT.
      Hanya Allah yang Mahatahu seberapa benar kisah tersebut, tapi kisah itu telah menunjukkan peran malu dalam kehidupan ruhaniah Rasul. Punyakah kita rasa malu karena mengabaikan sholat? Malukah kita Karena hanya punya sedikit tabungan kebaikan dalam kehidupan ini. Allah menyaksikan setiap langkah kita.
Maka semstinya kita malu berbuat hal yang Mubazir, apalagi maksiat, di hadapan-Nya. Semestinya kita malu tak cukup beribadah kepada-Nya. Semestinya kita malu bila tidak bekerja keras menyelesaikan amanat masing-masing. Semestinya kita malu karena tidak mensyukuri nikmat, menuntut kenaikan gaji dengan mengumpat-umpat bukan meningkatkan kualittas kerja sendiri. Semestinya kita malu bila menjadi atasan tak mampu mengangkat nasib bawahan, dan sebagai pemimpin gagal menyejahterakan rakyat yang kita pimpin. Lazimnya, kita hanya malu untuk urusan duniawi di hadapan manusia lain, bukan urusan kebaikan di hadapan Tuhan.
      Sebuah doa dari seorang Wali yang sangat terkenal, “Tuhanku, aku merasa tak pantas mendapatkan Surga-Mu. Tapi aku pun tak sanggup menanggung azab Neraka-Mu. Maka terimalah Tobatku, maafkan segala dosaku. Sungguh Engkau adalah Pengampun Yang Maha Besar.
Rasul malu telah membuat seorang wali Allah memanjatkan doa itu. Tidakkah kita malu bila tidak mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan para Wali Allah untu,k menuju ke Haribaan-Nya. Hal lain yang dapat memperhalus rasa malu adalah dengan menyaksikan, mensyukuri, kebaikan dan Karunia Allah SWT. Betapa banyak nikmat dan karunia Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada kita, baik berupa kesehatan anggota badan seperti tangan, kaki, mata, telinga, hidung, dan lidah. Juga makanan, tempat tinggal, pakaian. Kesadran akan karunia Allah kepada diri kita inilah yang akan memperhalus perasaan malu di hadapan-Nya.
Di ketik : by ariatmancool.blogspot.com
SUMBER:AL-AMIN
EDISI : 7 / Th. XVIII

t

0 komentar:

Post a Comment